Kamis, 06 November 2008

Darah Keperawanan - Kisah Nyata

Besok kamu tidak perlu sekolah lagi”.

“Kenapa bu ?, saya suka pelajaran matematika dan sejarah”.

“Tidak boleh, besok kamu sudah harus dipingit, kamu akan menikah bulan depan”.

Menikah ? apa menikah itu. Jadi pengantin. Kenapa harus jadi pengantin, dengan siapa ?, Beribu pertanyaan menghujam benakku. Aku tidak tahu mengapa aku harus menikah. Bayangan tawa gembira Sularsih, Wati, dan Menik silih berganti. Masih kuingat, kemarin kami baru saja pesta rujakan merayakan hari kelulusan ku dari sekolah dasar. Aku baru saja menikmati masa masa bahagia duduk di kelas 1 sekolah menengah pertama.

Sularsih dan Wati datang menjemputku, dari balik tirai, aku menatap punggung mereka yang lamat lamat menjauh dari rumahku. Ibu mengatakan kepada mereka bahwa mulai hari ini aku tidak boleh pergi ke sekolah dan bermain main dengan mereka, pandangan tanda Tanya keheranan masih tersimak jelas di wajah sahabat sahabatku itu.

Air mataku mengalir deras, kututup mukaku dengan bantal. Aku sangat takut sekaligus kecewa. Sering aku bertandang ke pesta pernikahan kerabatku di kampung. Pengantin wanita tampak cantik, dengan kebaya hitam, dan rambut di konde dengan hiasan bunga mayang. Aku selalu menikmati paesan yang dibentuk hati hati oleh dukun pengantin.

Kukenakan kain penutup rambutku, dan mulai beranjak keluar dari kamar. Aku akan bicara lagi kepada ibuku, merengek untuk minta dikembalikan ke sekolah. Ibu dan Bapak memarahiku habis habisan, sudah ditentukan tanggal pernikahanku, minggu depan jam 3 siang. Dengan langkah gontai aku ke kembali ke kamarku.

Seminggu sebelum pernikahanku tiba, calon suamiku datang, rombongan berjumlah lebih dari 30 orang diantaranya adalah pak lurah, pak camat, dan beberapa santri. Belasan mobil mewah terpakir di depan rumahku. Bapak dan ibu tampak sumingrah. Sedangkan aku masih duduk ketakutan di dalam kamar. Aku mengenakan baju muslim terbaru. Mukaku terasa gatal. Riasan terasa terlalu tebal.

Keesokan harinya, rumahku kedatangan buruh bangunan. Kata ayah, rumahku akan dibangun tingkat. Suara palu dan martil sangat bising. Pagi hingga malam hari. Menganggu tidurku, mengganggu doaku kepada Gusti Allah. Hari yang telah ditentukan tiba. Sehabis shalat dzuhur, aku dibawa oleh ayah dan ibuku ke kediaman calon suamiku.

Aku tidak mengenalnya. Dari pembicaraan bude dan pakde, calon suamiku adalah seorang pengusaha kaya raya, kiai yang memiliki sebuah pondok pesantren di Semarang, Jawa Tengah.  Namanya Ki Puji. Rumah kediaman nya sangat mewah dan besar. Rumahku mungkin hanya sebesar ruang.  tamunya. Aku tidak berani menatap wajahnya. Menunduk. Dia mendekatiku, dan mengulurkan tangan. Dingin. Aku berpeluh keringat.

Aku duduk membeku. Dikelilingku duduk bersimpuh beberapa wanita yang tidak aku kenal. Sementara kaum lelaki duduk di ruangan lain. Acara pernikahan berlangsung menjemukan. Baju pengantin yang kukenakan terasa panas. Tidak betah rasanya aku berlama lama mengenakannya.

Setelah acara pernikahan usai, aku didudukkan disamping sang Kiai. Kilatan lampu kamera dan tetamu yang datang membuatku merasa mual. Aku tidak kuat lagi. Dengan lirih aku meminta izin kepada Ibu untuk dibawa ke kamar baruku. Malam hari ketika seluruh tetamu sudah meninggalkan tempat baruku, suamiku, pak kiai, datang mengahmpiriku.

“Kamu sudah haid nduk?” Tanyanya. Aku menangguk lemah. Rasa takut menjalariku. “ Jangan takut, kamu adalah isteriku sekarang, nanti saya akan jadikan kamu general manager di perusahaan saya”. “Kamu akan saya didik menjadi isteri yang shaleh, tidak kekurangan materi, dan bisa mengendarai mobil mobil mewahku”.

“Aku punya BMW, Mersi, kijang, motor, dan aku akan membawamu keliling Indonesia, mau kemana ?. Ke Bali, Yogyakarta, Jakarta, ke Ancol, Taman Mini”. Sebut saja nduk”. Katanya menghiburku. “Isteri pertamaku, panggil dia Umi”. “ Dia yang akan mengajarkanmu, sini duduk dekat denganku”.

Tangannya yang hitam berbulu meraihku, aku semakin meringkuk ketakutan. Didudukkannya aku dipangkuannya.”Nduk, kamu cantik, tutup matamu”. “Aku akan mengajarkanmu menjadi wanita sempurna”.

Kubuka kedua belah mataku, matahari mempertontonkan cahayanya masuk dari celah celah jendela. Aku mencoba bangun dari tempat tidurku. Tetapi tubuhku terasa sakit, tulangku terasa kaku, dan selangkanganku terasa nyeri luar biasa. Aku tidak bisa bergerak. Ceceran darah kering mengotori alas tidurku. Darah segar masih mengalir dari celah sempitku.

Apa yang terjadi ? Aku tidak ingat apa yang terjadi. Kupacu daya ingatku, semalam sang Kiai mencumbu, aku meronta ronta, menangis, menjerit, tapi tangan hitam itu membekap mulutku. Aku ingin berlari, tetapi tubuhnya terlalu kuat menindihku. Lalu aku tidak sadarkan diri. Lama, sunyi, bayangan Sularsih, Menik dan Wati silih berganti.

Kamu mau jadi apa kalau sudah lulus sekolah Ulfah ?”

“Aku mau jadi polisi wanita”. Jawabku lantang.

“Ibu guru sangat bangga padamu, Ulfah”. “Nilai raportmu sangat bagus”. Puji ibu guruku.

Bayangku pulang sekolah bersama sahabat sahabatku, berlari lari menuruni kali kecil dibelakang sekolah untuk menangkap ikan kecil menari nari. Sulastri mengayunkan tali yang terbuat dari jalinan karet gelang, kami bermain lompat tali. Dua belas tahun umurku.

Coco - Kobe (koki)

1 komentar:

ahmad maulana mengatakan...

Subhanallah...smoga yg anda alami ini tdk trjadi pd yg lain.biar bisa mnikmati masa prtumbuhan dr anak2 mnjdi rmaja.klau anda dr anak2 lngsung dewasa!